Oleh: Denny Indrayana
PUNGLI pastilah tidak akan pernah halal. Tidak ada derajat kehalalan pungli. Pungli, apapun alasannya, tetap haram. Lalu kenapa kolom kali ini membahas (lagi) tentang pungli? Semuanya berawal dari salah satu pesan Twitter yang dikirimkan kepada saya. Isinya, “Bapak Wamen, jika remunerasi kami 100%, barulah pungli menjadi haram.” Twit demikian menunjukkan betapa seriusnya persoalan pungli, sehingga konsep bahwa pungli itu haram pun sudah mulai dikaburkan. Pungli sudah mulai ditoleransi. Sehingga ada pendapat, pungli mempunyai derajat kehalalan. Pandangan demikian tentu tidak dapat dibenarkan. Karena itu, izinkan saya menulisnya (lagi) pada kesempatan kolom kali ini.
Saat ini, salah satu tantangan utama birokrasi adalah pelayanan publik yang terus semakin baik. Di era yang makin demokratis, sikap kritis publik adalah keniscayaan. Maka, melakukan pelayanan yang biasa saja, tidak akan pernah cukup. Perbaikan terus-menerus pada pelayanan publik bukanlah pilihan, tetapi juga keniscayaan. Tidak terkecuali pelayanan di Kementerian Hukum dan HAM. Setiap unit yang melakukan, harus berpegang teguh pada empat syarat pelayanan publik: cepat, nyaman, aman dan bersih.
Bersih dalam arti pelayanan publik harus bebas dari praktik pungutan liar (pungli). Pungli pasti merusak sistem pelayanan. Apapun alasannya, pungli tidak dapat dibenarkan. Secara hukum, pungli adalah korupsi. Walaupun kalau dilihat dari segi jumlah, nilainya pastilah kecil. Tetapi pungli tetaplah salah satu bentuk korupsi, yang tidak jarang dikategorikan terjadi karena keterdesakan kebutuhan (corruption by need). Secara konsep, pungli sering diperlawankan dengan korupsi dalam jumlah besar, yang terjadi karena keserakahan (corruption by greed).
Tetapi apapun kategorisasinya, pungli tetaplah korupsi. Dan korupsi dalam bentuk apapun tidak boleh ditoleransi. Tidak ada derajat kehalalan pungli. Sebagaimana tidak ada toleransi untuk korupsi. Tidak benar bahwa jika remunerasi 100 persen, baru pungli menjadi haram. Membalas pesan Twitter tersebut, yang seakan berargumen ada derajat kehalalan pungli, saya berkata, “Bahkan jika tidak ada remunerasi sekalipun, jikalaupun remunerasi 0% sekalipun, tidak menyebabkan pungli menjadi halal. Pungli tetap, dan harus terus haram”.
Menyadari bahwa praktik pungli sudah menjadi bagian tidak terpisahkan dari pelayanan publik kami, maka tidak ada pilihan lain, keharaman pungli harus terus digaungkan, dengan nyaring. Beberapa waktu terakhir, saya kembali pada pernyataan mendasar, “Pungli itu haram.” Suatu pernyataan yang seharusnya tidak perlu lagi diingatkan, karena sudah pasti benar. Namun tingkat toleransi dan sikap permisif yang sudah sedemikian tinggi pada perilaku pungli, membuat saya tidak ada pilihan.
Dalam berbagai kesempatan, saya menyampaikan pungli 100% haram. Setiap forum demikian saya awali dengan pemutaran film, “Kita Vs Korupsi”, terutama untuk segmen “Selamat Siang Risa”. Dalam bagian film yang dibintangi Tora Sudiro tersebut, dikisahkan bagaimana di tengah himpitan kesulitan ekonomi, dan di saat bayinyayang sakit, tidak menyebabkan integritas moral Tora tergadaikan. Dia tetap menolak menerima tumpukan uang suap yang disodorkan seorang pengusaha, yang memaksa meminjam gudang untuk menumpuk beras jualannya.
Setiap menonton kembali film itu, saya terus tercenung, terus mencuci niat untuk menjaga integritas. Terutama pada bagian Tora memeluk dan menciumi bayinya, dalam dekapan erat kebapakannya, sesaat setelah dia menolak menerima sogokan tumpukan uang yang telah ada di depan matanya. Sambil menolak sogokan tersebut, Tora berkata, “Saya mungkin bodoh, saya mungkin salah, tetapi kebodohan dan kesalahan ini, tidak akan pernah saya sesali sampai mati.”
Itulah bagian yang selalu mengingatkan dan menginspirasi kami. Tora pasti telah menyelamatkan seluruh keluarganya dengan menegaskan suap, pungli, korupsi, atau apapun namanya tidak ada toleransi kehalalannya. Apapun resikonya, pastilah tidak mudah. Karena godaan tentu selalu datang dalam bentuk berbagai wajah. Dalam bentuk anak yang sedang sakit, dalam bentuk kebutuhan biaya sekolah, atau dalam bentuk apapun, tetap tidak menyebabkan pungli menjadi halal.
Maka, saya pun tercenung, ketika penertiban yang kami lakukan di kementerian mendapat respon, “Jika penertiban pungli terus dilakukan, lalu bagaimana kami bisa menyekolahkan anak kami.” Sedemikian parahnyakah pungli telah merasuk ke tulang sanubari kita? Sehingga, untuk membiayai putra-putri kita memperoleh pendidikan, kita merasa pungli adalah solusinya? Bagaimana bisa kita menjadi sedemikian toleran? Untuk makan, untuk pendidikan, dan untuk apapun, pungli bukanlah solusi. Pungli tetaplah pungli. Pungli tetaplah korupsi. Apapun alasan pembenarnya.
Dengan alasan, sebagai biaya pendidikan sekalipun, pungli tidak menjadi halal. Justru untuk tujuan semulia pendidikan anak-cucu kita, mempertahankan integritas antipungli adalah keniscayaan, adalah keharusan. Sewajibnya kita berpandangan, biaya pendidikan anak-anak kita, adalah bersumber dari rezeki yang halal, yang tentunya, pastilah bukan pungli.
Dengan ketegasan sikap demikianlah, kami terus mengajak seluruh jajaran di Kemenkumham, khususnya yang langsung melakukan pelayanan publik, untuk terus berperang melawan pungli. Sistem pengaduan terus diperbaiki. Business process terus dibenahi. Sistem penunjang serta sarana-prasarana terus dikembangkan. Kemampuan SDM terus ditingkatkan.
Pada setiap unit pelayanan sekarang ada spanduk besar yang mengundang masyarakat untuk melaporkan langsung ke sms aduan, setiap praktik pungli. Spanduk yang menyebar di seluruh Indonesia tersebut menyebabkan kami dapat memantau langsung tingkat pungli pada setiap unit pelayanan kami.
Alur pelayanan (business process) juga sedang dan terus kami review. Itulah sebabnya di Jakarta Pusat dan Jakarta Barat sedang dilakukan uji coba penggantian paspor dalam waktu satu hari (the same day). Pada direktorat perdata, per hari ini, tanggal 5 Maret 2013, akan ada pelayanan fidusia online, yang akan memotong waktu pendaftaran dari harian, mingguan, bahkan bulanan, menjadi hanya dalam hitungan 7 menit. Sebulan kemudian, pada 5 April 2013, insya Allah giliran pendaftaran badan hukum (Perusahaan, yayasan dan badan hukum lainnya) yang akan dipotong birokrasi prosesnya, sehingga juga dapat diselesaikan dalam hitungan menit.
Percepatan demikian tentu membutuhkan dukungan teknologi, alat, serta sarana dan prasarana yang mumpuni. Karena itu, tidak ada pilihan lain, selain terus meningkatkan peralatan berbasis IT yang terus diperbaiki kecanggihannya. Dengan catatan penting, proses pengadaan alat-alat tersebut juga harus bersih dari praktik korupsi.
Akhirnya, seluruh perbaikan di atas, harus diiringi dengan kapasitas dan integritas SDM yang handal. Sehebat apapun sistem yang dibangun, jika moralitas manusianya tetap mudah digoda, maka akan ada saja kelemahan sistem yang dapat ditransaksikan. Pada ujungnya, setiap sistem membutuhkan SDM yang bermoral dan berintegritas antikorupsi, antisogokan, antipungli. Karena tidak ada sistem kerja apapun yang sempurna. Sebagaimana, memang tidak ada pula manusia yang sempurna. Maka, di tengah ketiadaan kesempurnaan itu, setiap kita hanya harus terus mengingat, bahwa pungli sama sekali tidak mempunyai derajat kehalalan, tidak sedikitpun.
Mari terus tingkatkan pelayanan publik. Ayo terus berantas pungli. Demi Kemenkumham yang lebih baik. Untuk Indonesia yang lebih baik. Keep on fighting for the better Indonesia.
0 komentar:
Posting Komentar
Cantumkan Nama dan Email / No. HP anda agar kami bisa dapat lebih mudah menghubungi anda.