BERKURBAN ANTI PUNGLI, PUNGLI BUKAN REZEKI

Hari Raya Idul Adha juga dikenal dengan Hari Raya Kurban. Hari besar yang sarat dengan pesan kepedulian sosial. Pesan moral yang terlalu penting di tengah situasi sosial yang tidak jarang mudah dipecah-belah.

Mudah disulut menjadi kerusuhan, bahkan oleh persoalan yang tidak jarang sepele, kecil, dan remeh-temeh. Tapi sepele, kecil, atau remeh-temeh memang tidak jarang tergantung pada sudut pandang, tergantung pula dari pola pikir (mindset), tergantung pula pada keterkaitannya dengan hal apa. Pungli, pungutan liar, misalnya, adalah penyimpangan receh, adalah korupsi kecil, korupsi karena kebutuhan (corruption by need).

Tapi bagi pejuang antikorupsi sejati, sekecil apa pun pungli tetaplah korupsi, tetaplah haram. Bagi Pak Abdullah Hehamahua, mantan Penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi, yang kemarin bergabung dalam panitia seleksi Direktur Jenderal Pemasyarakatan, pungli tetaplah korupsi. Dengan tamsil yang terang-benderang Pak Abdullah berujar, "Daging babi itu haram.

Mau banyak atau sedikit sekalipun. Jadi memakan daging babi secuil sekalipun tetap saja tidak menjadi halal." Maka, dalam logika demikian, pungli meskipun adalah korupsi kecil, korupsi receh, tidaklah menyebabkan dia menjadi halal. Dalam salah satu kolom Novum, judul yang saya tulis adalah "Pungli Tidak Pernah Halal". Mengapa saya perlu menulis judul demikian? Karena ada sudut pandang yang mengatakan: ada derajat kehalalan pungli.

Dalam logika itu, karena remunerasi di Kementerian Hukum & HAM yang belum penuh 100%, pungli masih ada yang halal. Atas pola pikir demikian, tentu saja penjelasan dan penolakan tegas harus dilakukan. Adalah benar bahwa tingkat kesejahteraan pegawai negeri sipil, polisi, prajurit TNI memang masih perlu ditingkatkan agar memenuhi standar hidup yang layak. Namun, tingkat kesejahteraan yang perlu perbaikan itu tidak boleh menjadi alasan pembenar untuk dilakukannya penyimpangan dalam bentuk apa pun, termasuk pungli.

Pungli yang marak di setiap pelayanan publik sering kali dihadap-hadapkan dengan tingkat kesejahteraan yang masih rendah. Tapi, mengambinghitamkan tingkat kesejahteraan untuk menghalalkan pungli tetap tidak dapat ditoleransi. Ingat, sekecil apa pun, sereceh apa pun, pungli tetaplah korupsi. Maka pungli sebagai korupsi kecil tidak pernah halal sebagaimana korupsi dalam ukuran besar selalu haram.

Tentang pungli yang tidak pernah halal itu bagi sebagian orang mungkin adalah hal remeh-temeh. Karena hal demikian harusnya hal sederhana yang harus dipahami setiap kita yang beretika, setiap kita yang beriman. Namun, justru karena konsep yang sangat sederhana itu, sering kali kita memudahkannya, menggampangkannya sehingga menganggap pungli itu ada derajat halalnya, lebih jelasnya menganggap pungli itu adalah rezeki.

"Alhamdulillah. Saya dapat bagian 5 juta. Alhamdulillah itu rezeki saya." Itulah kalimat yang terucap oleh salah satu staf kami ketika diperiksa dan akhirnya mengakui menerima uang untuk surat keputusan pengangkatan notaris. Pegawai yang lain berkata, ketika pimpinannya membagikan uang hasil pungli, sang pimpinan berkata, "Ini ada sedikit rezeki untuk uang taksi dan uang pulsa." Pola pikirnya, uang pungli adalah rezeki, halal, sah diterima, tidak ada yang salah.

Tentu saja cara pandang demikian tidak bisa lagi dianggap sebagai hal remeh-temeh. Punglinya memang menyangkut uang receh. Nilainya puluhan, ratusan ribu, atau hanya jutaan— tidak sampai miliaran. Tapi yang berbahaya bukanlah nilainya yang kecil itu, tetapi pola pikir yang menganggap pungli adalah rezeki. Pola pikir demikian tentu saja tidak dapat dianggap enteng. Mengerdilkan bahaya pungli yang dianggap rezeki sama saja tidak menganggap berbahayanya korupsi. Ingat, pungli sereceh apa pun adalah sama saja dengan korupsi.

Dalam hal ini adalah korupsi di bidang pelayanan publik (public services). Di Kemenkumham, pungli marak dalam pelayanan di empat unit utama: pemasyarakatan, imigrasi, hak kekayaan intelektual, dan administrasi hukum umum. Untuk unit pemasyarakatan, pungli merambah semua jenis pelayanan, mulai dari kunjungan, izin keluar hjingga hak narapidana (remisi, pembebasan bersyarat, cuti, dan lainlain). Untuk imigrasi, pungli marak dalam pembuatan paspor dan pengurusan izin tinggal.

Di unit hak kekayaan intelektual, setiap pendaftaran hak cipta, merek, desain industri tidak lepas dari bahaya pungli. Adapun di administrasi hukum umum, pungli yang dibahasakan dengan kode "percepatan" terjadi untuk pendaftaran yayasan, perusahaan, termasuk penempatan notaris. Dalam pelayanan publik demikian, virus pungli adalah penyakit kanker yang membahayakan dan mematikan. Pungli menjadi korupsi yang merusak dan meluluhlantakkan pelayanan publik yang profesional dan bersih. Yang terjadi sistem antrean rusak.

Pelayanan cepat akan tergantung dengan seberapa besar setoran pungli yang disediakan. Dengan demikian, pungli adalah virus perusak yang menjadikan sistem sebaik apa pun menjadi tidak berfungsi. Maka, dalam setiap pelayanan publik, pungli adalah musuh nomor satu. Karena itu, sistem pelayanan publik yang baik harus membangun mekanisme kerja yang mematikan pungli. Dalam era sekarang, sistem demikian biasanya didukung dengan pendekatan teknologi.

Dalam reformasi birokrasi karenanya dikenalkan sistem e-Gov, e- Tender, e-Tax, dan lain-lain. Di Kemenkumham dibangun sistem online untuk pendaftaran pembebasan bersyarat, berbasis pada SDP (sistem database pemasyarakatan), pendaftaran paspor online, IPAS (industrial property automation system) untuk hak kekayaan intelektual, dan sistem onlineuntuk pendaftaran yayasan, perusahaan, dan lain-lain di Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum.

Pola pikir bahwa pungli tidak pernah halal, bahwa pungli itu adalah korupsi, serta hal-hal sederhana tetapi superpenting itulah yang kembali kami tegaskan ke jajaran Kemenkumham pada Jumat lalu. Hari itu ke tengah jajaran, saya memberikan pengarahan (lagi) dengan diawali (lagi) pemutaran film Selamat Siang Risa dari salah satu serial Kita vs Korupsi.

Pengarahan harus diberikan (lagi) setelah minggu sebelumnya pemeriksaan oleh tim inspektorat jenderal (itjen) membuktikan adanya indikasi kuat penyimpangan dalam penerbitan surat keputusan pengangkatan notaris, khususnya di beberapa kota besar yang formasinya "tertutup". Bahwa penempatan notaris sarat dengan praktik haram jual-beli tentunya bukan hal baru. Saya sendiri sudah mendengarnya sejak lama.

Namun, setelah nyaris dua tahun upaya pencegahan melalui pembenahan sistem dilakukan, tetapi transaksi haram tetap dilakukan, pimpinan tidak punya pilihan lain kecuali mengambil kebijakan penindakan. Maka, setiap oknum yang terlibat harus dimintai pertanggungjawaban, baik secara kepegawaian ataupun secara hukum pidana. Laporan telah disampaikan oleh tim itjen kepada KPK pada Selasa pekan lalu. Akhirnya, pungli memang bukan korupsi besar.

Tapi kerusakan yang diakibatkannya sangat masif terhadap sistem pelayanan publik. Maka, untuk sistem sosial yang lebih sehat, di Hari Raya Kurban, hari besar kepedulian sosial, untuk pelayanan publik yang lebih baik, setiap pelayan publik harus rela mengorbankan dirinya untuk memberikan pelayanan terbaik bagi kepuasan publik—tentu dengan tetap mengupayakan peningkatan kesejahteraan kepada setiap pelayan publik tersebut. Demi pelayanan publik yang lebih baik. Demi pungli yang enyah dari setiap public services. Untuk Indonesia yang lebih baik. Keep on fighting for the better Indonesia.


DENNY INDRAYANA
Wakil Menteri Hukum dan
Hak Asasi Manusia,
Guru Besar Hukum Tata Negara UGM